Saturday, 21 November 2015

The Hunger Games: Mockingjay Part 2

Score: 8.0/10
"That's when I make a list in my head of every act of goodness I've seen someone do. It's like a game. Repetitive. Even a little tedious after more than twenty years. But there are much worse games to play." - Katniss Everdeen

Bermula pada ide kreatif Suzanne Collins menulis sebuah novel dengan tema permainan mematikan yang juga melibatkan revolusi sebuah negara yang membagi daerahnya menjadi 13 distrik ini, Panem. Akhirnya sampai kepada perealisasiannya mengikuti jejak Harry Potter dan Twilight pada 2012 lalu menjadi sebuah film layar lebar yang sukses disutradari oleh Gary Ross. Setelah itu, sekuel pertamanya pun mendapatkan respon lebih sukses lagi dari film pertama saat tampuk kepemimpinan produksi menjadi milik Francis Lawrence pada 2013 lalu hingga saat ini. Keputusan Lionsgate dan Francis Lawrence untuk tetap mengikuti storyline The Hunger Games pada novelnya mungkin dinilai kurang kreatif, namun imajinasi liar Francis Lawrence rupanya berhasil mengejutkan para fans The Girl on Fire ini puas akan hasil perealisasian live-action nya.

Katniss Everdeen (Lawrence) dari distrik 12. Merasa bertanggungjawab besar pada kondisi Peeta (Hutcherson) yang telah dicuci otak President Snow (Sutherland) hingga mengambil resiko ikut berperang di garis depan tanpa persetujuan pemimpin pemberontakan, President Alma Coin (Moore). President Snow rupanya sudah menjadikan lingkar luar Capitol City dengan banyak jebakan berbentuk Pod yang sudah siap untuk membunuh para pemberontak. Tidak hanya itu, bahkan area bawah tanah sudah terisi oleh para penjaga berbentuk Mutan. Bersama dengan Skuad 451 yang dipimpin oleh Boggs (Ali), Katniss dan teman-teman harus melewati berbagai rintangan yang disajikan President Snow layaknya sebuah arena Hunger Games. Finnick (Claflin) bahkan menyebutnya sebagai arena Hunger Games ke 76 karena semua aktifitas pemberontak direkam oleh kamera tersembunyi. Di markas distrik 13, Plutarch Heavensbee (Hoffman) dan Alma Coin rupanya sudah membuat berbagai rencana propaganda yang tentunya akan menggulingkan Snow dan menjadikan Alma Coin sebagai pemimpin baru yang akan mengambil alih pemerintahan Panem yang merdeka.




Salah satu hal yang paling menarik difilm ini adalah bagaimana seorang sutradara menyajikan akhir cerita yang bahkan dari dialognya pun sama miripnya dengan dialog versi novel. Scene Underground mungkin adalah lokasi terbaik bagi Francis Lawrence untuk memacu adrenalin para penonton lewat kengerian make-up dan CGI para mutan bawah tanah yang haus darah tersebut. Para aktor yang diceritakan mati pun berhasil memainkan peran yang memorable hingga kematian nya pasti akan memiliki efek kesedihan yang bisa dirasakan para penontonnya. Visualisasi Capitol City yang penuh dengan warna abu-abu terlihat cukup indah ditengah terjangan api peperangan, bahkan pada musim dingin sekalipun.


Dari segi cerita, memang terlihat ada sedikit perombakan yang hanya memindahkan beberapa scene penting yang sebenarnya seharusnya ada di part 1 menjadi part 2. Seperti rencana propaganda pengebom-an double yang seharusnya dibicarakan oleh Gale dan Beete di ruang senjata Distrik 13 menjadi perbincangan Gale dan Boggs di dalam pesawat pada awal film Part 2. Lebih banyaknya scene Effie Trinket yang bahkan dibukunya pun sudah jarang diceritakan dalam Mockingjay sepertinya tak jadi masalah. Untuk ending-nya, mungkin bagi para penonton yang tidak membaca bukunya akan sedikit kecewa dengan kematian Snow yang begitu saja. Namun bagi fans yang sudah membaca novelnya, mungkin scene ini lah yang paling mereka tunggu-tunggu.


Penampilan akting? tidak perlu diragukan lagi. Jennifer Lawrence terlihat lebih mempesona difilm ini ketimbang film-film sebelumnya. Apalagi mengetahui bahwa pemeran anak-anak Katniss di akhir film yang tidak lain adalah keponakan Jennifer Lawrence sendiri. Josh Hutcherson mungkin mendapat tantangan untuk bermain sebagai Peeta yang memiliki sifat keterbalikan dengan karakter ia sebelumnya. Namun Hutcherson tentu saja berhasil menghasilkan aura kebencian sekaligus kebingungan yang pas dengan kondisi peperangan saat ini. Liam Hemsworth yang baru kebagian peran besar dalam film ini tentu saja tidak menyia-yiakan penampilan apiknya menggunakan Crossbow. Dan tentu saja, aktor yang terlihat sedikit bersinar dalam film ini, Sam Claflin sebagai Finnick Odair, berhasil meninggalkan jejak yang baik untuk para fans dengan aksi akhirnya yang tidak biasa dalam melindungi Katniss. Sejujurnya, mendiang Philip Seymour Hoffman tidak terlalu banyak ambil bagian difilm ini. Namun film ini tetap menutup penampilan terakhirnya dilayar lebar.


Tidak adil rasanya jika hanya membahas kelebihan film ini. Bagaimana dengan kelemahannya? Yup! tentu saja berbagai twist berupa dialog yang sepertinya kurang di highlight sehingga mungkin kurang menyajikan akhir yang dapat mudah dicerna untuk penonton yang tidak membaca bukunya. Permainan 'real and not real' antara Katniss dan Peeta yang kurang mengena (hanya akhir film menjelang epilog yang baru terasa chemistry-nya. atau memang harus seperti itu mengingat kondisi Peeta yang setengah dirinya ingin membunuh Katniss?) Dan tentu saja, scene double bom di akhir dengan kematian seseorang yang sepertinya mungkin terlalu cepat dan kurang didramatisir. Kesimpulannya, agar bisa menikmati akhir film yang lebih jelas dan lebih bermakna, para penonton yang belum membaca bukunya mungkin harus menonton ulang maraton The Hunger Games dulu agar lebih bisa menerima akhir yang sedikit flat ini (yang sebenarnya memiliki ending yang pas dengan keseluruhan jalan cerita). Terutama scene dimana antara Katniss dan Snow berjanji tidak ada kebohongan lagi diantara mereka berdua (ada di scene awal Catching Fire).


Overall, film ini tidak bisa dikatakan lebih baik dari bukunya, namun kebanyakan penonton mungkin akan menilai cukup memuaskan layaknya seri Harry Potter. Jangan sampai anda melewatkan babak akhir ini tanpa menyaksikannya sendiri di layar lebar. Because, Nothing can prepare you for the end.



No comments:

Post a Comment