Friday 6 May 2016

Ngenest

Score: 6.5/10
"Gak semua yang kita harepin akan terwujud, dan gak semua yang kita takutin akan terjadi." - Patrick

Sebuah film debut penyutradaraan seorang komedian yang naskahnya juga hasil adaptasi dari novel trilogi berjudul sama, karya sang sutradara sendiri, Ernest Prakasa. Juara tiga Stand Up Comedy Indonesia season 1 ini rupanya tak mau kalah dengan komika lainnya yang telah sukses menggarap filmnya masing-masing. Sebut saja Raditya Dika yang mengawali debut penyutradaraanya lewat Marmut Merah Jambu dan bahkan Kemal Palevi dengan Tak Kemal Maka Tak Sayang. Aktor yang menjadi salah satu pemain utama dalam Comic 8 ini rupanya mengangkat tema tentang kegalauan yang sering terjadi pada orang dengan ras cina sepertinya, yakni perasaan selalu menjadi kaum minoritas.

Ernest (Prakasa) adalah anak dari keluarga cina yang selalu dibully sejak kecil. Ia bertemu dengan Patrick (Morgan Oey) sejak SD yang selalu menyelamatkan Ernest di saat-saat genting hingga saat ini. Setelah melalui beberapa cobaan dalam hidup, Ernest memutuskan ingin menikahi seorang pribumi agar sang anak nantinya tidak merasakan penderitaan apa yang ayahnya rasakan dulu. Maka bertemulah ia dengan Meira (Lala Karmela) dalam sebuah kursus bahasa Mandarin. Sayangnya, sang ayah Meira (Budi Dalton) pernah ditipu hingga bangkrut oleh orang cina. Namun hal itu rupanya tidak mengenyahkan cinta antara Ernest dengan Meira hingga akhirnya mereka menikah. Masalah baru kemudian dimulai saat Meira menginginkan anak. Begitu pula dengan mama Ernest (Lydia) yang selalu menanyai mereka kapan bisa diberi cucu. Namun yang terjadi adalah dimana Ernest belum siap punya anak, kegelisahan tersebut rupanya ada kaitannya dengan apakah rupa sang anak nanti akan mirip sang ayah, atau ibu? Jika anak tersebut memiliki rupa dengan ayahnya, perjuangan Ernest untuk menikah dengan pribumi agar sang anak tidak memiliki rupa cina nampaknya tidak akan berhasil.




Berangkat dari premis yang simpel, Stand Up Comedian ini berusaha merangkum ketiga bukunya menjadi satu kesatuan film yang baik. Seperti film-film yang disutradarai komika kebanyakan, Ernest tak lupa pula menyelipkan banyak unsur komedi dan juga menggaet cameo dari teman-teman komika-nya. Secara keseluruhan, naskah dan pesan moral yang ingin disampaikan dibawakan dengan baik dan mudah dimengerti. Namun untuk titik awal permulaan film, kualitas akting dan penjalinan cerita sepertinya sangat mubazir. Aktor anak-anak yang digunakan memang kurang berpengalaman, dan ini bisa dikatakan sangat wajar jika kualitas akting mereka memang masih belum bagus. Bahkan sampai kehidupan masa smp, feel dan pesan moralnya tidak tersampaikan dengan baik. Justru film dimulai dengan lebih seru dan menarik ketika Ernest, Morgan, dan Lala mengambil alih. Jika film ini dinilai dari sepuluh menit pertamanya, saya tidak yakin akan banyak orang yang betah menyaksikan kelanjutannya sampai selesai.


Komedi yang disajikan berupa canda gurau yang biasa seorang komika bawakan, dan ini mungkin menjadi salah satu segi positif film ini karena lawakan yang diberikan tidak berlebihan. Memang ada beberapa yang flat namun sepertinya itu tidak menjadi masalah penting untuk kualitas film ini. Berikutnya, soundtrack yang diisi oleh The Overtunes cukup menjanjikan. Membuat kehidupan yang Ngenest ini terasa lebih hidup. Terutama untuk lagu Mungkin yang dibawakan saat fase Solusi dalam film, setelah Patrick menceramahi Ernest dan kilasan kisah cinta Ernest-Meira selama 7 tahun itu muncul kembali.


Overall, film ini bukanlah film yang buruk meski memang agak membosankan diawal. Mungkin seharusnya Ernest memakai formula flashback masa kecil yang ia deskripsikan agar awal film tidak terasa membosankan dengan anak-anak yang baru mulai belajar berakting (Hanya saran). Bagaimanapun juga, Ernest pastilah sadar akan hal ini dan banyak belajar untuk bisa membuat film berkualitas lagi kedepannya nanti. Pada akhirnya, Ngenest menjadi tontonan menghibur yang cocok dikonsumsi bersama keluarga dan kawan-kawan.


No comments:

Post a Comment